1. Beranda
  2. Foliopini

Menang Jadi Arang, Kalah Jadi Abu

Oleh ,

"Pat ujeun yang hana pirang, pat prang yang hana reda" (Tidak ada hujan yang tidak berhenti, tidak ada perang yang tidak berkesudahan). Hal ini dapat terjadi apabila kita saling berbesar hati, tidak egois, dan mau menerima keberadaan orang lain. Namun dengan sikap sebaliknya, perang malah akan tetap berkecamuk dan hanya akan menyisakan kesia-siaan belaka. Pepatah menyebutnya dengan istilah: ‘menang jadi arang, kalah jadi abu’. Sebab dalam peperangan, kedua belah pihak sama-sama menderita kerugian berupa; kebrutalan, kematian massal, dan trauma berkepanjangan. Untuk membangun ulang sistem tatanan poleksosbudhankam-nya pun membutuhkan waktu yang cukup lama.

Film tahun 2022 ini bercerita tentang anak muda idealis (Paul Baumer), sama seperti kita yang mudah ‘terpapar provokasi berkedok motivasi’, namun tak jarang menyulitkan dan bertentangan dengan kenyataan. Saat negara-negara di belahan dunia lain sibuk mencerdaskan kehidupan bangsanya, negara pemuda ini (Jerman) malah sibuk melakukan propaganda, agar pemuda-pemudanya mau bertempur di medan perang. Agak geli bagi saya sebagai bapak anak satu, ketika mendengar bentuk-bentuk petuah propagandanya, seperti: akan terlihat gagah di mata wanita, perjuangan yang mengharu-biru, dan/atau menjadi pahlawan bagi bangsanya. Ya, pahlawan babak belur yang dirudal mortir kenyataan akan kelamnya kehidupan.

All Quiet on The Western Front mengajarkan saya, bahwa perang tak akan selamanya indah (menang). Paul Baumer, tokoh utamanya adalah korban dari ambisiusnya suatu negara terhadap penguasaan suatu wilayah tanpa bercermin diri. Pepatah lagi-lagi mendeskripsikannya sebagai: “buruk muka, cermin dibelah!”. Memang, Jerman sendiri sama halnya seperti Rusia bagi saya, kerap menjadi bulan-bulanan dalam film produksi Hollywood. Mungkin karena kisah kelam Hitler dan Nazi dulu, serta tragedi Holocaust berbentuk genosida yang telah memakan korban belasan juta jiwa, yang juga dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat. Uniknya, film ini diproduksi sendiri oleh negara Jerman, sehingga stigma yang berlangsung lama itu menjadi berbeda.

Film ini juga mengingatkan saya dengan perang khandaq (perang parit) untuk menahan laju serangan musuh pada masa Nabi Muhammad SAW. Dalam film ini, Jerman dan Prancis sama-sama memiliki parit, namun pada akhirnya Jerman harus bertekuk lutut, karena kecanggihan teknologi persenjataan lawan, serta minimnya pengetahuan dan keterampilan prajurit dalam berperang. Alias hanya bermodalkan nekat dan motivasi dari para veteran. Maka dari awal saya telah menganjurkan untuk lekas bercermin. Mungkin istilah sekarang menyebutnya dengan teknik analisis SWOT, sehingga kita dapat mengetahui dengan baik kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness) kita, serta peluang (opportunity) dan tantangan (threat) yang bakal kita hadapi.

All Quiet on The Western Front mengajarkan saya, bahwa tak ada perang yang sebanding dengan nyawa. Sama seperti yang tengah terjadi di negeri kita, “tidak ada sepak bola yang sebanding/seharga dengan nyawa”. Untuk itu, kasih sayang, cinta, dan rindulah yang membuat setiap anak bangsa dari setiap negara bersatu. Mungkin pada bagian ini terdengar klise, tapi bukankah kita diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal, bukan malah menciptakan kerusakan di atas muka bumi?

Artinya terdapat banyak sekali pelajaran yang dapat saya rangkum dari film adaptasi kisah nyata ini. Terkhusus dari buku Erich Maria Remarque’s dengan judul yang sama. Erick Paul Remarque’s sendiri adalah novelis (eks kombatan Jerman pada Perang Dunia 1), yang menjadi saksi bisu betapa keji dan nihilnya arti yang didapatkan dari sebuah peperangan. Novel ini diterbitkan pada tahun 1928, artinya gerakan sosial ‘anti perang’ (anti-war) telah lama didengungkan, bahkan oleh orang-orang yang terlibat langsung di dalamnya. Sampai kemudian kisah ini diangkat menjadi film tanggal 28 Oktober 2022 pada layanan streaming Netflix.

Menurut saya, sang sutradara Edward Berger juga berhasil membuat saya suka terhadap narasi yang dibawakan oleh film Jerman. Sepengetahuan saya tentang film Jerman, ‘Who Am I: No System is Safe’ bergenre hacker masih tetap yang pertama membuat saya jatuh cinta. Sebagaimana dikutip dari (https://www.cnbcindonesia.com), film ini berhasil memperoleh sebanyak 87.321 suara (vote), dan berada pada penilaian (rate) 7.8/10 menurut IMDb, serta turut diikutsertakan dalam ajang Festival Film Internasional Toronto (Toronto Internaional Film Festival) 2022. Selamat menyaksikan!

Baca Juga