Quo Vadis Mahasiswa Dalam Gerakan Aktivisme
KOALISI.co - Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, pengaruh pergerakan mahasiswa memiliki kontribusi yang penting dalam setiap momen perubahan.
Mahasiswa memiliki peran dalam lingkungan masyarakat sebagai Agent of Change (agen perubahan), dimana mahasiswa dapat berperan sebagai penggerak keadaan sosial kedalam arah yang lebih baik melalui ketrampilan, ide, dan keilmuan yang dimilikinya, sehingga seolah olah mahasiswa menjadi mesin untuk menggerakan tak hanya dalam sosial politik belaka, namun juga sebagai penggerak dibidang ekonomi, pendidikan dan dibidang lainnya.
Sejarah telah menunjukkan betapa hebatnya gerakan mahasiswa dalam melakukan kontrol terhadap laju kekuasaan. Bukan hanya semata melakukan kritik, tetapi gerakan mahasiswa juga telah berhasil menunjukkan taring dalam meruntuhkan rezim otoriter pada orde baru dan transisi kekuasaannya.
Meskipun aksi demonstrasi masih relevan, nampaknya ini bukan cara satu-satunya untuk dilakukan. Di dalam hukum pidana terdapat istilah yang terkenal, yakni ultimum remedium. Dalam penerapannya, aksi demonstrasi bisa digunakan sebagai senjata pamungkas alias ultimum remedium ini.
Pada era digital, harusnya gerakan mahasiswa pun mesti mulai dilakukan dengan kreatif dan inovatif seperti dengan memanfaatkan teknologi, seperti media sosial. Penguasa pun mungkin ketar-ketir kalau netizen mahasiswa bersuara di medsos, 'kan.
Kembali ke khittah
Teruntuk kalian para pejuang selanjutnya, jika kelak ada yang membisikimu bahkan mengancammu tentang siapa dan apa itu mahasiswa, maka ingatlah kata kata ini. Jika kata mereka mahasiswa harus ber IPK tinggi, ikut organisasi hanya untuk aktivitas dan mencari beasiswa ataupun berprestasi.
Dan hal itu yang mereka anggap sebagai mahasiswa aktivis, bukan mereka yang kritis akan kebijakan, suka bediskusi membahas urusan pemangku kebijakan, sering turun kejalan menyuarakan suara hati, dan mereka biasanya ber IPK rendah dan lulus lambat.
Maka tanamkanlah pada hati kalian Mahasiswa aktivis belum tentu ber-IPK buruk. Banyak contoh mahasiswa aktivis yang memiliki IPK 3 ke atas dan lulus cepat.
Memang saat ini pragmatisme mahasiswa harus diakui semakin menggejala di tengah terpaan arus hedonisme dan permisivisme.
Masuk kuliah sekadar mengisi presensi, mencatat jika tidak malas, melakukan copy-paste pada tugas makalah dan paper serta menyontek saat ujian tela, berjangkit lama di dunia kampus.
Mahasiswa dengan IPK tinggi juga tidak bisa serta-merta dikatakan akademis karena ukuran untuk menilai akademis atau tidak cukup kabur saat ini.
Perlu di ingat bahwa IPK tinggi akan mengantarkan kita mendapat kesempatan wawancara, tapi kepemimpinan, daya kritis dan kepekaan yang akan mengantarkan kita menjadi kader bangsa sejati.
Dan itu bisa diperoleh dari dunia gerakan (organisasi mahasiswa). Bagaimana pun, kuliah penting dan organisasi kemahasiswaan juga penting. Presiden buruk akan terjadi jika mahasiswa tidak ingin terlibat dalam aktivitas organisasi kemahasiswaan.
Pragmatisme mahasiswa semakin menjadi-jadi dan defisit kader-kader pemimpin bangsa akan terjadi di kemudian hari. Padahal kebutuhan akan mahasiswa-mahasiswa kritis yang menghimpun diri dalam suatu gerakan mahasiswa merupakan kebutuhan mutlak dalam mengawal periode transisi bangsa dan mencapai cita-cita reformasi.
Membentuk gerakan kampus dan membangun nalar gerakan dalam diri seorang mahasiswa dapat dilakukan dengan banyak cara. Hal sederhana yang dapat dilakukan adalah bertanya atau melakukan proses dialektis atas segala rupa kebijakan, aturan, kondisi, atau gejala.
Misal kita membaca berita bahwa “pemerintah melakukan kerjasama luar negeri dalam perdagangan”, penting bagi kita untuk bertanya “untuk siapa…?”, untuk siapa kebijakan itu dibuat? Untuk penguasa dan segelintir orang dilingkarannya?, atau untuk kemaslahatan rakyat banyak?.
Walau sederhana, metode ini ampuh membangun nalar kritis bagi mahasiswa per masing-masing individu.
Bayangkan apabila tiap mahasiswa di satu ruangan kelas saja berkehendak serupa untuk bertanya “untuk siapa” bagi setiap kebijakan, aturan, kondisi, atau gejala yang terjadi di masyarakat, tentu akan terangkum suatu daya kritis yang amat besar dari mahasiswa.
Apabila ini dapat terwujud barulah dapat dikatakan bahwa kampus adalah laboratorium bagi ilmu pengetahuan dan daya kritis sosial-politik bangsa. Jalan lain membangun spirit gerakan, selain menulis dan membaca yang sudah umum diwacanakan, barangkali dapat kita temukan dalam petikan puisi ‘Negeri Para Bedebah’ karya Adhie Massardi. ”…Maka bila negerimu dikuasai para bedebah, Usirlah mereka dengan revolusi.
Bila tak mampu dengan revolusi, Dengan demonstrasi. Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi. Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan”. Barangkali sudah terwakili apa yang seharusnya dilakukan oleh para mahasiswa dalam mengembangkan semangat intelektual nya lewat puisi Adhie Massardi diatas.
Tentu bagi setiap mahasiswa yang dalam dirinya tertanam semangat agen pembaharu, agen intelektual dan sosial kontrol, berhenti bergerak karena upaya penggerusan dan pelemahan yang dilakukan kaki tangan penguasa adalah suatu bentuk kebodohan.
Melawan itu semua, bukan hanya menjadi lambang ketidak sepakatan pada bentuk pembodohan dan kepatuhan akan penguasa, melainkan lebih dari itu merupakan wujud eksistensi gerakan mahasiswa dalam mengawal proses transisi politik, pemenuhan hak dasar warga negara, pemberantasan korupsi serta reformasi di segala bidang.
Oleh : Musliadi Salidan, SP. M. Agr.
Penulis Pernah Aktif di HMI Cabang Lhokseumawe - Aceh Utara Tahun 2014- 2019, dan sekarang aktif sebagai Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Aliansi Bumia Mulia Aceh ( ABMA)