Ragam Bahasa Daerah yang Ada di Aceh
KOALISI.co - Aceh sebagai provinsi paling barat di Indonesia, menyimpan beragam kekayaan budaya, termasuk berbagai suku dan bahasa. Di Aceh ada 13 suku. Setiap suku memiliki bahasanya sendiri. Secara otomatis jumlah bahasa daerah juga berjumlah 13 bahasa, yaitu; Bahasa Aceh, Gayo, Aneuk Jamee, Singkil, Alas, Tamiang, Kluet, Devayan, Sigulai, Pakpak, Haloban, Lekon, dan Nias.
Perlu digarisbawahi bahwa bahasa daerah Aceh bukan berarti bahasa Aceh. Bahasa daerah aceh adalah kumpulan bahasa daerah yang digunakan oleh masyarakat di provinsi aceh, tanpa memandang suku, tanpa memandang bahasa, termasuk bahasa aceh. Jadi, bahasa Aceh merupakan bagian dari bahasa daerah Aceh. Berikut ini adalah ragam bahasa daerah yang ada di Aceh untuk kamu ketahui.
Baca Juga: Inilah Ragam Jenis Pakaian Adat Aceh, Baik Untuk Pria Maupun Wanita
Ragam Bahasa Daerah Yang Ada Di Aceh
Bahasa Aceh
Di antara bahasa daerah yang terdapat di provinsi Aceh, bahasa Aceh merupakan bahasa daerah terbesar dan memiliki penutur terbanyak, yaitu sekitar 70% dari total penduduk provinsi Aceh . Penutur bahasa Aceh tersebar di pesisir Timur dan Barat Provinsi Aceh.
Penutur asli Aceh adalah mereka yang mendiami Kabupaten Aceh Besar, Kota Banda Aceh, Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Jeumpa, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Aceh Barat dan Kota Sabang. Penutur bahasa Aceh juga terdapat di beberapa daerah di Kabupaten Aceh Selatan, terutama di daerah Kuala Batee, Blang Pidie, Manggeng, Sawang, Tangan-tangan, Meukek, Trumon dan Bakongan.
Bahkan di kabupaten Aceh Tengah, Aceh Tenggara dan Simeulue, kita juga menemukan sebagian kecil masyarakat yang berbahasa Aceh. Selain itu, di luar provinsi NAD yaitu di daerah perantauan juga terdapat kelompok masyarakat Aceh yang masih mempertahankan bahasa Aceh sebagai bahasa ibu mereka. Hal ini dapat kita temukan di masyarakat Aceh di Medan, Jakarta, Kedah dan Kuala Lumpur di Malaysia dan Sydney di Australia.
Baca Juga: Daftar Alat Musik Aceh yang Wajib Kamu Ketahui
Bahasa Gayo
Bahasa ini diyakini sebagai bahasa yang erat kaitannya dengan bahasa melayu kuno, meskipun sekarang cukup banyak kosakata bahasa gayo yang bercampur dengan bahasa aceh. Bahasa Gayo adalah bahasa ibu bagi masyarakat Aceh yang mendiami Kabupaten Aceh Tengah, sebagian kecil wilayah Aceh Tenggara, dan daerah Lokop di Kabupaten Aceh Timur. Bagi kebanyakan orang di luar masyarakat Gayo, bahasa ini mengingatkan mereka pada alunan merdu puisi seni didong.
Bahasa Alas
Bahasa ini terdengar lebih mirip dengan bahasa yang digunakan oleh masyarakat etnis Karo di Sumatera Utara. Masyarakat yang mendiami Kabupaten Aceh Tenggara, di sepanjang kaki Gunung Leuser.
Dan penduduk di sekitar hulu Sungai Singkil di Kabupaten Singkil, merupakan penutur asli bahasa Alas. Penduduk Kabupaten Aceh Tenggara yang menggunakan bahasa ini adalah mereka yang berdomisili di lima kecamatan, yaitu kecamatan Lawe Sigala-gala, Lawe Alas, Bambel, Babussalam, dan Bandar.
Baca Juga: Inilah Lagu Daerah Aceh yang Memiliki Nilai Penting
Bahasa Tamiang.
Bahasa Tamiang (dalam bahasa Aceh disebut bahasa Teumieng) adalah varian atau dialek bahasa Melayu yang digunakan oleh masyarakat Kabupaten Aceh Tamiang (dahulu Kabupaten Aceh Timur), kecuali di Kecamatan Manyak Payed (yang merupakan wilayah bahasa Aceh) dan Kota Kuala Simpang ( bahasa daerah Aceh). campuran yaitu bahasa Indonesia, bahasa Aceh dan bahasa Tamiang). Hingga saat ini, cita rasa Melayu masih sangat kental dalam bahasa Tamiang.
Bahasa Haloban
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahasa Haloban merupakan salah satu bahasa daerah Aceh yang digunakan oleh masyarakat di Kabupaten Singkil, khususnya yang mendiami Kepulauan Banyak, khususnya di Pulau Tuanku.
Baca Juga: Ketahui Asal Bahasa, Kepercayaan dan Senjata Tradisional Aceh
Bahasa ini terdengar sangat mirip dengan bahasa Devayan yang dituturkan oleh masyarakat di pulau Simeulue. Jumlah penutur bahasa Haloban sangat sedikit dan jika upaya pemajuan, pengembangan dan pelestariannya tidak segera dimulai, dikhawatirkan suatu saat bahasa ini hanya akan tinggal dalam ingatan para peneliti bahasa daerah.