Rohingya: Terusir Akibat Gagal Adaptasi
KOALISI.co - Rohingya adalah kata yang tidak asing lagi bagi kita akhir-akhir ini. Etnis minoritas dari Myanmar yang dulu kita kasihani, mendadak menjadi begitu kita benci. Dulu kita mengasihaninya karena tidak diakui di negaranya sendiri, bahkan cenderung dibumihanguskan.
Hingga Pemimpin Tertinggi Myanmar kala itu, Aung San Suu Kyi dicabut nobel perdamaiannya, karena dinilai diam terhadap genosida yang terjadi di sana.
Kala itu, kita mengasihani mereka karena berbulan-bulan mereka terombang-ambing di lautan, tanpa makanan dan alat kesehatan serta sanitasi yang memadai. Kala itu yang membuat kita paling miris ialah di antara para penumpang kapal nan sesak tersebut terdiri dari bayi, anak-anak, kaum ibu, lansia dan perempuan yang tidak berdosa.
Namun belakangan kita membenci mereka, karena dinilai mulai 'tidak tahu diri', merepotkan sehingga menimbulkan ketidaknyamanan bagi warga lokal, serta terus berdatangan 'berbondong-bondong' masuk lewat bibir pantai daerah di Indonesia, tanpa pengecekan yang jelas.
Entah memang pengungsi atau malah pendatang gelap? Tercatat hingga pertengahan 10 November 2023, sebanyak 1.543 pengungsi asal Rohingya telah mendarat di bumi Aceh lewat perahu kayu mereka (sumber: UNHCR dalam CNN Indonesia).
Berdasarkan hasil studi pustaka saya terhadap fenomena penolakan masyarakat Indonesia, khususnya Aceh kepada pengungsi Rohingya, maka diperoleh hasil, bahwa pengungsi Rohingnya gagal beradaptasi dalam lingkup komunikasi lintas budaya.
Pengungsi Rohingnya gagal menyesuaikan diri mereka dengan budaya yang berlaku di Aceh, sehingga tidak terjadi harmoni, alias disintegrasi sosial antara pengungsi dengan warga lokal.
Terjadinya ketidakseimbangan komunikasi lintas budaya ini menyebabkan pergeseran perilaku warga lokal dari yang semula 'menerima' menjadi 'menolak' mereka secara terang-terangan, dan kasus penolakan ini semakin banyak muncul, termasuk viral di media sosial.
Di antara alasan masyarakat kita menolak pengungsi Rohingnya, karena mereka dinilai sering berulah di tempat pengungsian, seperti: kabur, melakukan tindak kriminal, pelecehan, bertengkar dengan warga lokal, serta protes terhadap 'kurangnya' makanan yang diberikan (kaltimtoday).
Baca dihalaman selanjutnya>>>