Sejarah Lontong, Banyak Ditemui Saat Lebaran Idul Fitri
KOALISI.co - Di Indonesia, Lontong merupakan sajian khas pada hari raya Idul Fitri. Pernahkah Anda bertanya dari mana lontong berasal? Ketupat atau Lontong merupakan hidangan khas bahari Asia Tenggara yang terbuat dari beras yang dibungkus dengan pembungkus yang terbuat dari anyaman daun kelapa muda atau janur, atau terkadang dari daun lontar lainnya.
Lontong paling banyak dijumpai saat perayaan Idul Fitri hingga 5 hari berikutnya saat umat Islam merayakan akhir bulan puasa. Makanan khas yang menggunakan lontong antara lain tahu kupat (Sunda), kandang valveat (Banjar), Grabag (Kabupaten Magelang), kupat glabet (Kota Tegal), coto Makassar (dari Makassar, lontong disebut valvea), lotek, dan gado-gado. Yang bisa disajikan dengan lontong atau ketupat.
Lontong juga bisa disajikan dengan sate, meski lontong lebih umum. Selain di Indonesia, makanan ini juga terdapat di Malaysia, Brunei, dan Singapura. Di Filipina juga ditemukan bugnoy yang bentuknya seperti belah lontong namun dengan pola anyaman yang berbeda.
Baca Juga: Jelang Idul Fitri, Harga Emas di Banda Aceh Capai Rp 3.050.000 Juta Per-Mayam
Sejarah Lontong
Menurut Penulis buku “Jejak Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia”, Lontong mulai popular pada masa Sunan Kalijaga, ketika menyiarkan Islam pada abad ke-15 hingga ke-16. Sunan Kalijaga menjadikan lontong sebagai budaya Jawa sekaligus filosofi yang menyatu dengan nilai-nilai Islam.
Dalam bahasa Jawa dan Sunda, lontong atau ketupat disebut kupat, artinya mengaku salah atau mengakui kesalahan. Simbol berlian lainnya, empat babak berlian, yang juga melambangkan empat sisi berlian.
Pada zaman pra Islam, kelapa dan beras ini sebagai sumber alam yang dijadikan makanan oleh masyarakat pada zaman itu. Juga di Bali sampai sekarang menggunakan lontong atau orang Bali menyebutnya tipat dalam ritual pemujaan. Hal ini menunjukkan bahwa lontong sudah ada sejak zaman Hindu-Budha tersebar di Indonesia.
Baca Juga: Mengetahui Sejarah Asal Usul Kota Banda Aceh Darussalam
Filosofi Lontong Dalam Tradisi Lebaran
Lontong tidak bisa dipisahkan dari perayaan Idul Fitri. Karena di dalam perayaan Idul Fitri tentunya ada satu hal yang perlu diingat yaitu Lebaran Lontong. Istilah tersebut telah menjamur di kalangan umat Islam khususnya di Pulau Jawa. Lontong atau kupat identik dengan Idul Fitri. Buktinya, di mana ada ucapan Idul Fitri, di situ ada gambar dua lontong atau lebih. Apakah lontong ini hanya pelengkap hari raya atau ada maknanya?
Arti dan Makna Filosofi Lontong
Dalam filosofi Jawa, lontong lebaran bukan sekadar sajian istimewa di hari raya. Lontong memiliki arti khusus. Lontong atau kupat dalam bahasa Jawa adalah kependekan dari Ngaku Lepat dan Laku Papat.
- Mengaku berarti mengakui kesalahan.
- Laku papat berarti empat tindakan.
Laku Papat
Bagi orang Jawa Tradisi sungkeman adalah sebua himplementasi dari ngakulepat atau mengakui kesalahan. Prosesi sungkeman ini kegiatan bersimpuh di depan orang tua sambil memohon ampunan. Dengan melakukan Sungkeman ini mengajarkan betapa pentingnya menghormati orang tua dan orang lain. Lakukan papat, Laku papat berarti empat tindakan dalam perayaan IdulFitri. Keempat tindakan tersebut adalah:
- Lebaran.
- Luberan.
- Leburan.
- Laburan.
Filosofi Lontong:
- Mencerminkan berbagai kesalahan manusia. Ini bisa dilihat dari kerumitan bungkusan lontong ini.
- Kesucian hati. Di saat Anda membuka lontong, maka di dalamnya terbuat dari nasi putih. Nasi putih tersebut memiliki arti yaitu mencerminkan kebersihan dan juga kesucian hati untuk memohon ampunan dari segala kesalahan.
- Mencerminkan kesempurnaan. Sedangkan untuk bentuk lontong yang begitu sempurna ini biasanya dihubungkan dengan kemenangan umat Islam setelah sebulan berpuasa.
- Dalam pantun Jawa ini ada yang bilang “KUPA SANTEN“ Kulo Lepat Nyuwun Ngapunten atau Saya Salah Mohon Maaf, namun lontong ini biasanya dihidangkan dengan lauk yang bersantan.