1. Beranda
  2. Foliopini

Toxic Relationship

Oleh ,

KOALISI.co - Pada akhirnya, tidak akan pernah ada pertemanan yang benar-benar murni, sebab seluruhnya akan berorientasi pada biaya (cost), penghargaan (reward) dan keuntungan (profit). Sebagaimana dikatakan oleh John Thibaut dan Harold Kelley (1959) dalam Teori Social Exchange (Pertukaran Sosial).

Saya pribadi mengakui teori ini terlalu naif dan materialistis dalam memandang suatu hubungan, tapi tentu soal rasa, hati tidak pernah bohong. Kita pasti pernah merasakan hal yang serupa.

Ketika otak kita berada pada gelombang theta. Secara tidak sadar, kita akan cenderung mengevaluasi kembali nilai keuntungan dan kepuasan yang didapatkan dari sebuah pertemanan. Hal ini lah yang kerap menjadi landasan kita untuk berhenti atau melanjutkan pertemanan.

Salah satu kecenderungan kita untuk memutuskan pertemanan, yakni kita menjadi pihak yang paling kurang dihargai; dipandang sebelah mata (inferior), bukan siapa-siapa, tidak lebih unggul (underdog), orang yang selalu gagal, dan pantas untuk disuruh-suruh. Mungkin ada yang mengatakan ini hanya perasaan kita, tapi berapa banyak teman yang peduli tentang itu.

Kebanyakan dari kita secara tidak langsung telah menekankan hegemoni atas suatu isu yang harus dibahas, sedangkan pihak lain menjadi bagian dari spiral of silent, karena sebenarnya tidak setuju, namun memilih bungkam demi langgengnya hubungan pertemanan. Toxic sekali, bukan?

Atau ketika kita tiba-tiba cenderung mengiyakan apa saja yang menjadi kehendak dari teman. Tanpa benar-benar mempertimbangkan apa yang seharusnya kita kerjakan sekarang lebih dulu (do), dan pekerjaan-pekerjaan lain yang sebenarnya telah terjadwal.

Kondisi pelik ini semakin diperparah dengan adanya sindrom people pleaser, sehingga kita cenderung mengiyakan apa yang sebenarnya tidak menjadi tanggung jawab kita, dan bahkan tidak lagi berani untuk mengatakan “Tidak, Saya tidak bisa!” demi langgengnya hubungan pertemanan.

Ambyar! Artinya, pengorbanan (cost) yang kita keluarkan tidak berbanding dengan penghargaan yang didapat.

Teori Pertukaran Sosial mengharuskan terjadinya hubungan timbal balik pada masing-masing anggota pertemanan, namun tak jarang kebutuhan dasar manusia untuk dihargai tersebut hilang sudah.

Artinya ini adalah sifat naluriah yang diinginkan setiap anak manusia, terucap maupun tidak. Sifat ini niscaya, bukan semata hitung-hitungan matematis antara yang untung dan buntung (kalah bandar).

Terdapat beberapa solusi terkait dengan permasalahan ini, sebagai berikut:

1) Mulai untuk menghargai orang lain;

2) Bersikap lebih terbuka, egaliter, berempati dan mendukung ke arah pertemanan yang lebih positif;

3) Hindari perilaku bullying baik secara verbal maupun non verbal.

Hal ini dapat kita lakukan dalam rangka mengelola konflik sebelum terjadinya friksi (perpecahan) yang lebih parah.

Wal akhir, bertahan tidaknya sebuah pertemanan sangat bergantung pada berjalan efektif tidaknya proses komunikasi yang ada di dalamnya. Artinya harus terjadinya persamaan (equality) dalam memandang komunikator-komunikan.

Keadilan distribusi proporsi ‘penghargaan’ ini tentu akan berhasil dalam menghindarkan kita dari kejamnya ‘toxic relationship’. Sekian.

Baca Juga